Rabu, 05 September 2012

Landasan Pengembangan Kurikulum

Landasan Pengembangan Kurikulum

Oleh : Akhmad Sudrajat
Landasan KurikulumKurikulum merupakan inti dari bidang pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan empat landasan utama dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) filosofis; (2) psikologis; (3) sosial-budaya; dan (4) ilmu pengetahuan dan teknologi..Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas keempat landasan tersebut.
1.Landasan Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti : perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), di bawah ini diuraikan tentang isi dari-dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
a.Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
b.Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
c.Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia ? Apa pengalaman itu ?
d.Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
e.Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu ? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.
Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme.
2.Landasan Psikologis
Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologi yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi“.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu :
a.motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
b.bawaan; yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
c.konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang;
d.pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang; dan
e.keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5) pertumbuhan dan perkembangan kognitif.
3.Landasan Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang.
Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial – budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.

4.Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang
Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia bisa menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan.
Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.
Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian..
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.
Sumber Bacaan
Daeng Sudirwo. 2002 Otonomi Perguruan Tinggi Hubungannya dengan Otonomi Daerah. Manajerial. Vol .01. No1:72-79
Deddiknas. 2003. Standar Kompetensi Bahan Kajian; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang
________. 2003. Penilaian Kelas; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
E. Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2007
Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran.2002. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI.
Uyoh Sadulloh.1994. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/22/landasan-kurikulum/

LANDASAN, AZAS-AZAS PENDIDIKAN DAN PENERAPANNYA

LANDASAN, AZAS-AZAS PENDIDIKAN
DAN PENERAPANNYA

Tujuan Khusus Pengajaran (TKP)
Setelah mempelajari Bab IV anda diharapkan:
  1. Dapat menjelaskan 3 penggolongan aliran filsafat utama yang menjadi landasan filosofis pendidikan;
  2. Dapat menjelaskan 3 macam penggolongan kehidupan bermasyarakat yang dapat dijadikan landasan sosiologis pendidikan;
  3. Dapat menjelaskan pengertian kebudayaan dari berbagai dimensi;
  4. Dapat menjelaskan hukum-hukum dasar peserta didik;
  5. Dapat menjelaskan pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pendidikan;
  6. Dapat menjelaskan pengertian belajar seumur hidup;
  7. Dapat menjelaskan alasan belajar seumur hidup;
  8. Dapat menjelaskan lembaga penanggung jawab belajar seumur hidup;
  9. Dapat menjelaskan asas Tut Wuri Handayani;
  10. Dapat menerapkan asas Tut Wuri Handayani dalam pendidikan;
  11. Dapat menerapkan masing-masing landasan dan asas dalam praktik pendidikan;
  12. Dapat memberi contoh penerapan asas Tut Wuri Handayani dalam kaitan pendidikan;
12.1.  Pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kecerdasan yang luar biasa;
12.2.  Pendidikan bagi peserta didik yang memiliki penyimpangan fisik dan mental;
  1. Dapat memberi contoh penerapan asas Tut Wuri Handayani dalam kaitan pendidikan;
13.1.  Pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil;
13.2.  Pendidikan bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu;
  1. Dapat memberi contoh usaha perangkat pemerintah non departemen pendidikan dan kebudayaan:
14.1.  Dalam meningkatkan kemampuan dasar yang memadai bagi peserta didik agar mampu menjadi seorang insan yang mandiri;
14.2.  Dalam meningkatkan sumber penghasilan keluarga dan hidup bermasyarakat secara berbudaya;
  1. Dapat memecahkan permasalahan yang menjadi kendala pencapaian tujuan pendidikan;
  2. Dapat menjelaskan pemecahan masalah berdasarkan nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

LANDASAN PENDIDIKAN
Sebelum kita membicarakan tentang landasan-landasan pendidikan yang dianut oleh suatu bangsa, maka terlebih dahulu kita harus mempunyai kesatuan pendapat tentang arti landasan pendidikan. Landasan pendidikan merupakan norma dasar pendidikan yang bersifat imperatif; artinya mengikat dan mengharuskan semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pendidikan untuk setia melaksanakan dan mengembangkan berdasarkan landasan pendidikan yang dianut.
Umumnya ada lima landasan pendidikan utama yang menjadi norma dasar pendidikan, yakni: (1) Landasan Filosofis Pendidikan, (2) Landasan Sosiologis Pendidikan, (3) Landasan Kultural Pendidikan, (4) Landasan Psikologis Pendidikan, (5) Landasan Ilmiah dan Teknologi.
Landasan Filosofis Pendidikan
            Ada aliran utama filsafat di dunia sampai sekarang (Laboratorium Pancasila IKIP MALANG, hal.14):
Materialisme: mengajarkan bahwa hakikat realitas semesta, termasuk mahluk hidup, manusia, hakikatnya ialah materi. Semua realitas itu ditentukan oleh materi dan terikat oleh hukum alat: sebab akibat yang bersifat obyektif.
Idealisme/Spiritualisme: mengajarkan bahwa ide atau spirit manusia yang menentukan hidup dan pengertian manusia, subyek manusia sadar atas realitas dirinya dan semesta, karena ada akal budi dan kesadaran rohani. Hakikat diri adalah akal dan budi (ide, spirit).
Realisme: mengajarkan bahwa materialisme dan idealisme tidak sesuai dengan kenyataan: tidak realistis.
Realitas kesemestaan, terutama kehidupan bukan materi semata-mata. Realita adalah perpaduan materi dan non materi (spiritual, ide, rohani); terutama pada manusia nampak adanya gejala daya pikir, cipta, dan budi. Jadi realisme merupakan sintesis jasmani dan rohani, materi dan non materi.
Landasan Sosiologis Pendidikan
Sejalan dengan uraian di atas, landasan sosiologis mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa kita harus memusatkan perhatian kita pada pola hubungan antara pribadi an antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan bermasyarakat yang rukun dan dama, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya: (1) paham individualisme, (2) paham kolektivisme, (3) paham integralistik.
Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya masing-masing, asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. (Usman dan Alfian, 1992:255). Dampak individualisme menimbulkan cara pandang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat selalu menang dalam bersaing dengan yang kuat sajalah yang dapat eksis.
Berhadapan dengan paham di atas adalah paham kolektivisme yang memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya.
Menurut Soepomo (Laboratorium IKIP MALANG, 1993) dalam masyarakat yang menganut paham integralistik; masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara organis merupakan masyarakat. Sedangkan menurut Soeryanto Poespowardoyo (Oesman & Alfian, 1992) masyarakat integralistik mnempatkan manusia tidak secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah pribadi, namun juga merupakan relasi.
Kepentingan masyarakat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, dan (4) selaras serasi seimbang antara hak dan kewajiban.
Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia orang perorang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.

Landasan Kultural Pendidikan
Landasan kultural mengandung makna norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan berbudaya yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan berbudaya suatu bangsa kita harus memusatkan perhatian kita pada berbagai dimensi (Sastrapratedja, 1992:145): kebudayaan terkait dengan ciri manusia sendiri sebagai mahluk yang “belum selesai” dan harus berkembang, maka kebudayaan juga terkait dengan usaha pemenuhan kebutuhan manusia yang asasi: (1) kebudayaan dapat dipahami sebagai strategi manusia dalam menghadapi lingkungannya, dan (2) kebudayaan merupakan suatu sistem dan terkait dengan sistem sosial. Kebudayaan dari satu pihak mengkondisikan suatu sistem sosial dalam arti ikut serta membentuk atau mengarahkan, tetapi juga dikondisikan oleh sistem sosial.
Dengan memperhatikan berbagai dimensi kebudayaan tersebut di atas dapat dikemukakan, bahwa landasan kultural pendidikan di Indonesia haruslah mampu memberi jawaban terhadap masalah berikut: (1) semangat kekeluargaan dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan pendidikan, (2) rule of law dalam masyarakat yang berbudasya kekeluargaan dan kebersamaan,(3) apa yang menjadi “etos” masyarakat Indonesia dalam kaitan waktu, alam, dan kerja, serta kebiasaan masyarakat Indonesia  yang menjadi “etos” sesuai dengan budaya Pancasila; beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras tangguh bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil, sehat jasmani dan rohani, dan (4) cara bagaimana masyarakat menafsirkan dirinya, sejarahnya, dan tujuan-tujuannya. Bagaimana tiap warga memandang dirinya dalam masyarakat yang integralistik, bagaimana perkembanga cara peningkatan hrkat dan martabat sebagai manusia, apa yang menjadi tujuan pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.
Landasan Psikologis Pendidikan
Landasan psikologis mengandung makna norma dasar pendidikan yang bersumber dari hukum-hukum dasar perkembangan peserta didik.
Hukum-hukum dasar perkembangan peserta didik sejak proses terjadinya konsepsi sampai mati manusia akan mengalami perubahan karena bertumbuh dan berkembang. Pertumbuhan itu bersifat jasmaniah maupun kejiwaannya. Jadi sepanjang kehidupan manusia terjadi proses pertumbuhan yang terus-menerus. Proses perubahan itu terjadi secara teratur dan terarah, yaitu ke arah kemajuan, bukan kemunduran. Tiap tahap kemajuan pertumbuhan ditandai dengan meningkatnya kemampuan dan cara baru yang dimiliki. Pertumbuhan merupakan peralihan tingkah laku atau fungsi kejiwaan dari yang lebih rendah kepada tingkat yang lebih tinggi. Perubahan-perubahan yang selalu terjadi itu dimaksudkan agar orang didalam kehidupannya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Lingkungan manusia terdiri dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan fiik adalah segala sesuatu yang ada di sekitar anak yang non manusia; sedangkan lingkungan sosial adalah semua orang yang ada didalam kehidupan anak, yakni orang yang bergaul dengan anak, melakukan kegiatan bersama atau bekerja sama.
Tugas pendidikan yang terutama adalah memberikan bimbingan agar pertumbuhan anak dapat berlangsung secara wajar dan optimal. Oleh karena itu, diperlukan pngetahuan tentang hukum-hukum dasar perkembangan kejiwaan manusia agar tindakan pendidikan yang dilaksanakan berhasil guna dan berdaya guna. Beberapa hukum dasar yang perlu kita perhatikan dalam membimbing anak dalam proses pendidikan.

Tiap-Tiap Anak Memiliki Sifat Kepribadian yang Unik
Anak didik merupakan pribadi yang sdang bertumbuh  dan berkembang. Apabia kita amati secara seksama, mungkin kita menghadapidua anak didik yang tidak sama benar. Di samping memiliki kesamaan-kesamaan, tentu masing-masing punya sifat yang khas, yang hanya dimiliki oleh diri masing-masing. Diakatakan, bahwa tiap-tiap anak memiliki sifat kepribadian yang unik; artinya anak memiliki sifat-sifat khas yang dimiliki oleh dirinya sendiri dan tidak oleh anak lain.
Keunikan sifat pribadi seseorang itu terbentuk karena peranan tiga faktor penting, yakni: (1) keturunan/heredity, (2) lingkungan/environment, (3) diri/self.
Faktor Keturunan
Sejak terjadinya konsepsi, yakni proses pembuahan sel telur oleh sel jantan, anak memperoleh warisan sifat-sifat pembawaan dari kedua orang tuanya yang merupakan potensi-potensi tertentu. Potensi ini relatif sudah terbentuk (fixed) yang sukar berubah baik melalui usaha kegiatan pendidikan maupun pemberian pengalaman. Beberapa ahli ilmu pengetahuan terutama ahli biologi menekankan pentingnya faktor keturunan ini bagi pertumbuhan fisik, mental, maupun sifat kepribadian yang diinginkan. Pandangan ini nampaknya memang cocok untuk dunia hewan. Namun demikian, dalam lingkungan kehidupan manusia biasanya potensi individu juga merupakan masalah penting. Sedang para ahli ilmu jiwa yang menekankan pentingnya lingkungan seseorang dalam pertumbuhannya cenderung mengecilkan pengaruh pembawaan ini (naïve endowment). Mereka lebih menekankan pentingnya penggunaan secara berdaya guna pengalaman sosial dan edukasional agar seseorang dapat bertumbuh secara sehat dengan penyesuaian hidup secara baik.
Faktor Lingkungan
Sebagaimana diterangkan di muka, lingkungan kehidupan itu terdiri dari lingkungan yang bersifat sosial dan fisik. Sejak anak dilahirkan bahkan ketika masih dalam kandungan ibu, anak mendapat pengaruh dari sekitarnya. Macam dan jumlah makanan yang diterimanya, keadaan panas lingkungannya dan semua kondisi lingkungan baik yang bersifat membantu pertumbuhan maupun yang menghambat pertumbuhan. Sama pentingnya dengan kondisi lingkungan anak yang berupa sikap, perilaku orang-orang di sekitar anak. Kebiasaan makan, berjalan, berpakaian, itu bukan pembawaan, melainkan hal-hal yang diperoleh dan dipelajari anak dari lingkungan sosialnya. Bahasa yang dipergunakan merupakan media penting untuk menyerap kebudayaan masyarakat dimana anak tinggal. Tidak saja makna hafiah kata yang terdapat dalam bahasa itu melainkan juga asosiasi perasaan yang menyertai kata dalam perbuatan.
Faktor Diri
Faktor penting yang sering diabaikan dalam memahami prinsip pertumbuhan anak ialah faktor diri (self), yaitu faktor kejiwaan seseorang. Kehidupan kejiwaan itu terdiri dari perasaan, usaha, pikiran, pandangan, penilaian, keyakinan, sikap, dan anggapan yang semuanya akan berpengaruh dalam membuat keputusan tentang tindakan sehari-hari. Apabila dapat dipahami diri seseorang, maka dapat dipahami pola kehidupannya. Pengetahuan kita tentang pola hidup seseorang akan dapat membantu kita untuk memahami apa yang menjadi tujuan orang itu dibalik perbuatan yang dilakukan. Seringkali kita menginterpretasikan pengaruh pembawaan dan lingkungan secara mekanis tanpa memperhitungkan faktor lain yang tidak kurang pentingnya bagi pertumbuhan anak, yaitu diri (self). Memang pengaruh pembawaan dan lingkungan bagi pertumbuhan anak saling berkaitan dan saling melengkapi; tetapi masalah  pertumbuhan belum berakhir tanpa memperhitungkan peranan self, yakni bagaimana seseorang menggunakan potensi yang dimiliki dan lingkungannya. Di sinilah pemahaman tentang self atau pola hidup dapat membantu memahami seseorang. Self mempunyai pengaruh yang besar untuk menginterprestasikan kuatnya daya pembawaan dan kuatnya daya lingkungan. Contoh yang ekstrim ada anak yang cacat fisik, tetapi beberapa fungsinya tetap berdaya guna, sedang anak cacat yang lain menggunakan kecacatannya sebagai suatu alasan untuk ketidakmampuannya. Ini tidak lain karena pernana self. Self berinteraksi dengan pembawaan dan lingkungan yang membentuk pribadi seseorang.

Tiap Anak Memiliki Kecerdasan yang Berbeda-beda
Sebagaimana diterangkan di atas, sejak anak dilahirkan, mereka itu memiliki potensi yang berbeda-beda dan bervariasi. Pendidikan memberi hak  kepada anak untuk mengembangkan potensinya.
Kalau kita perhatikan siswa-siswa, kita akan segera mengetahui bahwa mereka memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, meskipun mereka mempunyai usai kalender yang sama, tetapi kemampuan mentalnya tidak sama. Dikatakan mereka memiliki usia kronologis yang sama, tetapi usia kecerdasan yang tidak sama. Jadi setiap anak memiliki indeks kecerdasan yang berbeda-beda. Indeks kecerdasan atau IQ diperoleh dari hasil membagi usia kecerdasan denga usia kalender (usia senyatanya) dikalikan 100. Baik usia kecerdasan maupun usia kronologis (usia senyatanya) dinyatakan dalam satuan bulan.



Contoh:
Seorang anak dengan usia kecerdasan 10 tahun dan 6 bulan (126 bulan) diambil dari hasil tes intelegensi yang valid dan reliabel. Usia kronologisnya 10 tahun dan 6 bulan (126 bulan), maka IQ anak tersebut 100. Untuk kepentingan praktis IQ normal ditentukan antara 90 – 10.
Dengan melihat indeks kecerdasan anak, kita dapat mengklasifikasi anak itu pada kecerdasan tertentu.

Klasifikasi Kecerdasan
IQ Klasifikasi
> 140 Genius
130 – 139 Sangat Pandai
120 – 129 Pandai
110 – 119 Di atas Normal
90 –109 Normal/Sedang
80 – 89 Di bawah Normal
70 – 79 Bodoh
50 – 69 Feeble Minded: Moron
< 49 Feeble Monded: Imbicile/Idiot

Anak golongan idiot mempunyai kemampuan mental yang paling rendah. Golongan ini tidak dapat melindungi dirinya dari bahaya atau melayani kebutuhan dirinya sendiri. Umurnya biasanya tidak panjang dan hanya mampu menumbuhkan kemampuan mentalnya pada tingkat usia 4 tahun.
Golongan imbicile satu tingkat lebih baik daripada golongan idiot. Anak golongan imbicile dapat dilatih untuk melayani kebutuhan dirinya dan menguasai ketrampilan sederhana dengan bimbingan khusus. Anak golongan ini dapat mencapai usia dewasa, tetapi jarang sekali mencapai usia kecerdasan lebih dari tingkatan usia 8 tahun. Sedangkan golongan moron mampu melayanai kebutuhan dirinya. Dengan pendidikan sekolah yang direncanakan dengan seksama, mereka dapat mempelajari hal-hal yang sederhana dan menguasai ketrampilan yang terbatas untuk lapangan pekerjaan yang sederhana. Usia mental golongan moron jarang sekali mencapai tingkat usia 12 tahun. Terbuka kemungkinan memasuki lapangan pekerjaan yang menguntungkan dirinya sendiri dan yang mengerjakannya. Golongan genius pada waktu sekarang lebih mendapat perhatian para ahli daripada sebelumnya. Kemampuan berpikir dan penalaran golongan pada tingkatan kemampuan mental yang tinggi, sehingga mampu melakukan kegiatan yang bersifat kreatif dan invertif. Anak-anak berbakat ini ditemukan ada pada semua bangsa dan pada semua tingkatan sosial ekonomi dan semua jenis (laki-laki atau perempuan). Berdasarkan data yang ada ternyata jumlah jenius laki-laki lebih banyak dari perempuan. Berdasarkan penyelidikan Terman; anak-anak berbakat, kondisi fisiknya lebih baik dari yang normal, lebih kuat dan sehat dari umumnya anak-anak pada usia yang sama. Dalam hal penyesuaian sosial sama baiknya.

Tiap Tahap Pertumbuhan Mempunyai Ciri-ciri Tertentu
Karena tiap tahap pertumbuhan itu memiliki ciri-ciri tertentu hal ini dapat membantu pendidik untuk mengatur strategi pendidikan dengan kesiapan anak muda untuk menerima, memahami dan menguasai bahan pendidikan sesuai dengan kemampuan. Jadi strategi pendidikan untuk siwa Sekolah Taman Kanak-kanak akan berbeda dengan strategi yang diperuntukkan siswa Sekolah Dasar. Demikian juga dengan jenjang persekolahan yang lain.

Landasan Ilmiah dan Teknologi Pendidikan
Landasan ilmiah dan teknologi pendidikan mengandung makna norma dasar yang bersumber dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengikat dan mengharuskan pelaksana pendidikan untuk menerapkannya dalam usaha pendidikan. Norma dasarnya yang bersumber dari ilmu pengetahuan dan teknologi itu harus mengandung ciri-ciri keilmuan yang hakiki (Lihat jurnal pendidikan, Mei 1989). (1) Ontologis, yakni adanya objek penalaran yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diamati dan diuji. (2) Epistomologis, yakni adanya cara untuk menelaah objek tersebut dengan metode ilmiah, dan (3) Aksiologis,  yakni adanya nilai kegunaan bagi kepentingan dan kesejahteraan lahir batin.
Bagi pendidikan di Indonesia yang menjadi objek penalaran seluruh aspek kehidupan diklasifikasikan ke dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta agama. Yang dalam pengembangannya senantiasa harus dipedomi nilai-nilai Pancasila.
Demikian pula cara telaah objek penalaran aspek kehidupan tersebut selain memperhatikan segi ilmiahnya tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Nilai kegunaan ilmu pengetahuan dan teknologi hendaknya terkait dengan peningkatan kesejahteraan lahir batin, kemajuan peradaban, serta ketangguhan dan daya saing sebagai bangsa, serta tidak bertentangan dengan nilai agama dan budaya bangsa.
Manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi yang melandasi pendidikan harus mampu (1) memberikan kesejahteraan lahir dan batin setinggi-tingginya, (2) mendorong pemanfaatan pengembangan sesuai tuntutan zaman, (3) menjamin penggunaannya secara bertanggung jawab, (4) memberi dukungan nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya bangsa, (5) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (6) meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas sumber daya manusia.



ASAS-ASAS PENDIDIKAN
            Sebelum kita membicarakan tentang asas-asas pendidikan yang berlaku di Indonesia, terlebih dahulu kita memiliki kesatuan pendapat tentang arti asas pendidikan. Asas pendidikan memiliki arti hukum atau kaidah yang menjadi acuan kita dalam melaksanakan kegiatan pendidikan.
Dalam masalah ini, berturut-turut akan kita bicarakan dua asas pendidikan yang berlaku di Indonesia: (1) asas Tut Wuri Handayani, dan (2) asas Belajar Sepanjang Hayat.

Asas Tut Wuri Handayani
Asas Tut Wuri Handayani merupakan gagasan yang mula-mula dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara seorang perintis kemerdekaan dan pendidikan nasional. Tut Wuri Handayani mengandung arti pendidik dengan kewibawaan yang dimiliki mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh, tidak menarik-narik dari depan, membiarkan anak mencari jalan sendiri, dan bila anak melakukan kesalahan baru pendidik membantunya (Hamzah, 1991:90). Gagasan tersebut dikembangkan Ki Hajar Dewantara pada masa penjajahan dan masa perjuangan kemerdekaan. Dalam era kemerdekaan gagasan tersebut serta merta diterima sebagai salah satu asas pendidikan nasional Indonesia (Jurnal Pendidikan, No. 2:24).
Asas Tut Wuri Handayani memberi kesempatan anak didik untuk melakukan usaha sendiri, dan ada kemungkinan mengalami berbuat kesalahan, tanpa ada tindakan (hukuman) pendidik (Karya Ki Hajar Dewantara, 1962:59). Hal itu tidak menjadikan masalah, karena menurut Ki Hajar Dewantara, setiap kesalahan yang dilakukan anak didik akan membawa pidananya sendiri, kalau tidak ada pendidik sebagai pemimpin yang mendorong datangnya hukuman tersebut. Dengan demikian, setiap kesalahan yang dialami anak tersebut bersifat mendidik. Menurut asas tut wuri handayani (1) pendidikan dilaksanakan tidak menggunakan syarat paksaan, (2) pendidikan adalah penggulowenthah yang mengandung makna: momong, among, ngemong (Karya Ki Hajar Dewantara, hal. 13). Among mengandung arti mengembangkan kodrat alam anak dengan tuntutan agar anak didik dapat mengembangkan hidup batin menjadi subur dan selamat. Momong mempunyai arti mengamat-amati anak agar dapat tumbuh menurut kodratnya. Ngemong berarti kita harus mengikuti apa yang ingin diusahakan anak sendiri dan memberi bantuan pada saat anak membutuhkan, (3) pendidikan menciptakan tertib dan damai (orde en vrede), (4) pendidikan tidak ngujo (memanjakan anak), dan (5) pendidikan menciptakan iklim, tidak terperintah, memerintah diri sendiri dan berdiri di atas kaki sendiri (mandiri dalam diri anak didik.

Asas Belajar Sepanjang Hayat
Pendidikan Indonesia bertujuan meningkatkan kecerdasan, harkat, dan martabat bangsa, mewujudkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, mandiri hingga mampu membangun diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya, memenuhi kebutuhan pembangunan dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa (GBHN, 1993:94). Gambaran tentang manusia Indonesia itu dilandasi pandangan yang menganggap manusia sebagai suatu keseluruhan yang utuh, atau manusia Indonesia seutuhnya, keseluruhan segi-segi kepribadiannya merupakan bagian-bagian yang tak terpisahkan satu dengan yang lain atau merupakan suatu kebulatan. Oleh karena itu, pengembangan segi-segi kepribadian melalui pendidikan dilaksanakan secara selaras, serasi, dan seimbang. Untuk mencapai integritas pribadi yang utuh harus ada keseimbangan dan keterpaduan dalam pengembangannya.
Keseimbangan dan keterpaduan dapat dilihat dari segi: (1) jasmani dan rohani; jasmani meliputi: badan, indera, dan organ tubuh yang lain; sedangkan rohani meliputi: potensi pikiran, perasaan, daya cipta, karya, dan budi nurani, (2) material dan spiritual; material berkaitan dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang memadai; sedangkan spiritual berkaitan dengan kebutuhan kesejahteraan dan kebahagiaan yang sedalam-dalamnya dalam kehidupan batiniah, (3) individual dan sosial; manusia mempunyai kebutuhan untuk memenuhi keinginan pribadi dan memenuhi tuntutan masyarakatnya, (4) dunia dan akhirat; manusia selalu mendambakan kebahagiaan  hidup di dunia dan akhirat sesuai dengan keyakinan agam masing-masing, dan (5) spesialisasi dan generalisasi; manusia selalu mendambakan untuk memiliki kemampuan-kemampuan yang umumnya dimiliki orang lain, tetapi juga menginginkan kemampuan khusus bagi dirinya sendiri.
Untuk mencapai integritas pribadi yang utuh sebagaimana gambaran manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan nilai-niai Pancasila, Indonesia menganut asas pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan sepanjang hayat memungkinkan tiap warga negara Indonesia: (1) mendapat kesempatan untuk meningkatkan kualitas diri dan kemandirian sepanjang hidupnya, (2) mendapat kesempatan untuk memanfaatkan layanan lembaga-lembaga pendidikan yang ada di masyarakat. Lembaga pendidikan yang ditawarkan dapat bersifat formal, informal, non formal, (3) mendapat kesempatan mengikuti program-program pendidikan sesuai bakat, minat, dan kemampuan dalam rangka pengembasngan pribadi secara utuh menuju profil Manusia Indonesia Seutuhnya (MIS) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan (4) mendpaat kesempatan mengembangkan diri melalui proses pendidikan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu sebagaimana tersurat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989.

PENERAPAN ASAS-ASAS PENDIDIKAN
            Sebagaimana telah dibicarakan dalam bahasan terdahulu ada dua asas-asas utama yang menjadi acuan pelaksanaan pendidikan, yakni: (1) Asas Belajar Sepanjang Hayat, dan (2) Asas Tut Wuri Handayani.
Untuk memberi gambaran bagaimana penerapan asas-asas tersebut di atas berturut-turut akan dibicarakan: (1) keadaan yang ditemui sekarang, (2) permasalahan yang ada, dan (3) pengembangan penerapan asas-asas pendidikan.

Keadaan yang Ditemui Sekarang
            Dalam kaitan asas belajar sepanjang hayat, dapat dikemukakan beberapa keadaan yang ditemui sekarang: (1) usaha pemerintah memperluas kesempatan belajar telah mengalami peningkatan. Terbukti dengan semakin banyaknya peserta didik dari tahun ke tahun yang dapat ditampung baik dalam lembaga pendidikan formal, non formal, dan informal; berbagai jenis pendidikan; dan berbagai jenjang pendidikan dari TK sampai perguruan tinggi, (2) usaha pemerintah dalam pengadaan dan pembinaan guru dan tenaga kependidikan pada semua jalur, jenis, dan jenjang agar mereka dapat melaksanakan tugsnya secara proporsional. Dan pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas hasil pendidikan di seluruh tanah air. Pembinaan guru dan tenaga guru dilaksanakan baik didalam negeri maupun diluar negeri , (3) usaha pembaharuan kurikulum dan pengembangan kurikulum dan isi pendidikan agar mampu memenuhi tantangan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas melalui pendidikan, (4) usaha pengadaan dan pengembangan sarana dan prasarana yang semakin meningkat: ruang belajar, perpustakaan, media pengajaran, bengkel kerja, sarana pelatihan dan ketrampilan, sarana pendidikan jasmani, (5) pengadaan buku ajar yang diperuntukan bagi berbagai program pendidikan masyarakat yang bertujuan untuk: (a) meningkatkan sumber penghasilan keluarga secara layak dan hidup bermasyarakat secara berbudaya melalui berbagai cara belajar, (b) menunjang tercapainya tujuan pendidikan manusia seutuhnya, (7) usaha pengadaan berbagai program pembinaan generasi muda: kepemimpinan dan ketrampilan, kesegaran jasmani dan daya kreasi, sikap patriotisme dan idealisme, kesadaran berbangsa dan bernegara, kepribadian dan budi luhur, (8) usaha pengadaan berbagai program pembinaan keolahragaan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anggota masyarakat untuk melakukan berbagai macam kegiatanolahraga untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran serta prestasi di bidang olahraga, (9) usaha pengadaan berbagai program peningkatan peran wanita dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya dalam upaya mewujudkan keluarga sehat, sejahtera dan bahagia; peningkatan ilmu pngetahuan dan teknologi, ketrampilan serta ketahanan mental.
Sesuai dengan uraian di atas, maka secara singkat pemerintah secara lintas sektoral telah mengupayakan usaha-usaha untuk menjawab tantangan asas pendidikan sepanjang hayat dengan cara pengadaan sarana dan prasarana, kesempatan serta sumber daya manusia yang menunjang.
Dalam kaitan penerapan asas Tut Wuri Handayani, dapat dikemukakan beberapa keadaan yang ditemui sekarang, yakni (1) peserta didik mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan dan ketrampilan yang diminatinya di sema jenis, jalur, dan jenjang pendidikan yang disediakan oleh pemerintah sesuai peran dan profesinya dalam masyarakat. Peserta didik bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri, (2) peserta didik mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan kejuruan yang diminatinya agar dapat mempersiapkan diri untuk memasuki lapangan kerja bidang tertentu yang diinginkannya, (3) peserta didik memiliki kecerdasan yang luar biasa diberikan kesempatan untuk memasuki program pendidikan dan ketrampilan sesuai dengan gaya dan irama belajarnya, (4) peserta didik yang memiliki kelainan atau cacat fisik atau mental memperoleh kesempatan untuk memilih pendidikan dan ketrampilan sesuai dengan cacat yang disandang agar dapat bertumbuh menjadi manusia yang mandiri, (5) peserta didik di daerah terpencil mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan ketrampilan agar dapat berkembang menjadi manusia yang memiliki kemampuan dasar yang memadai sebagai manusia yang mandiri, yang beragam dari potensi dibawah normal sampai jauh diatas normal (Jurnal Pendidikan,1989)

Masalah Peningkatan Mutu Pendidikan

Kebijakan peningkatan mutu pendidikan tidak harus dipertimbangkan dengan kebijaksanaan pemerataan pendidikan. Karena peningkatan kualitas pendidikan harus diimbangi dengan peningkatan kualitas pendidikan. Pendidikan bertujuan membangun sumber daya manusia yang mutunya sejajar dengan mutu sumber daya manusia negara lain.
Pemerintah mengusahakan berbagai cara dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, antara lain: (1) Pembinaan guru dan tenaga pendidikan di semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan, (2) Pengembangan sarana dan prasarana sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi, (3) Pengembangan kurikulum dan isi pendidikan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta pengembangan nilai-nilai budaya bangsa, (4) Pengembangan buku ajar sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan budaya bangsa.
Sesuai dengan uraian diatas secara singkat dapat dikemukakan: dalam menghadapi masalah peningkatan sumber daya manusia sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pemerintah telah dan sedang mengupayakan peningkatan: mutu guru dan tenaga kependidikan, mutu sarana dan prasarana pendidikan, mutu kurikulum dan isi kurikulum sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan nilai-nilai budaya bangsa.

Masalah Peningkatan Relevansi Pendidikan

            Kebijaksanaan peningkatan relevansi pendidikan mengacu pada keterkaitannya dengan: ke-bhineka tunggal ika-an masyarakat, letak geografi Indonesia yang luas, dan pembangunan manusia Indonesia yang multidimensional.
Pemerintah telah dan sedang mengusahakan peningkatan relevansi penyelenggaraan pendidikan yang efektif dan efisien (1) meningkatkan kemudahan dalam komunikasi informasi antara pusat–daerah, daerah–daerah, agar arus komunikasi informasi pembaharuan pendidikan berjalan lancar, (2) desiminasi–inovasi pendidikan: kelembagaan’ sumber daya manusia, sarana dan prasarana, proses belajar mengajar yang dilaksanakan secara terpadu, dan (3) peningkatan kegiatan penelitian untuk memberi masukan dalam upaya meningkatkan relevansi pendidikan.
Sesuai dengan uraian diatas secara singkat dapat dikemukakan: dalam upaya meningkatkan relevansi pendidikan, pemerintah melakukan berbagai upaya (1) usaha menemukan cara baru dan pemanfaatan teknologi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik yang beragam, (2) usaha pemanfaatan hasil penelitian pendidikan bagi peningkatan kualitas kegiatan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan (3) usaha pengadaan ruang belajar, ruang khusus (bengkel kerja, konseling, pertemuan, dan sebagainya) yang menunjang kegiatan pembelajaran.

TUGAS I

  1. Diskusikan dengan teman saudara dalam kelompok kecil mengenai perbedaan dan persamaan aliran filsafat yang menjadi landasan pendidikan dalam  praktik pendidikan antara:
1.1.  Aliran Materialisme dan Aliran Realisme
1.2.  Aliran Idealisme dan Aliran Realisme
  1. Diskusikan dengan teman saudara dalam kelompok kecil mengenai persamaan dan perbedaan norma hidup bermasyarakat antara:
2.1.  Paham Individualisme dan Integralistik
2.2.  Paham Kolektivisme dan Integralistik
  1. Diskusikan dengan teman saudara dalam kelompok kecil mengenai:
3.1.  Bberapa contoh ciri penting “etos” Manusia Indonesia Seutuhnya terhadap waktu
3.2.  Beberapa contoh ciri penting “etos” Manusia Indonesia Seutuhnya terhadap kerja

http://superthowi.wordpress.com/2012/08/14/landasan-azas-azas-pendidikan-dan-penerapannya/

Landasan Pendidikan Nasional

 Artikel Pendidikan :: Landasan Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional sebagai wahana dan sarana pembangunan negara dan bangsa dituntut mampu mengantisipasi proyeksi kebutuhan masa depan. Tuntutan tersebut sangat bergayut dengan aspek-aspek penataan pendidikan nasional yang bertumpu pada basis kehidupan masyarakat Indonesia secara komprehensif. Untuk kepentingan penataan pendidikan nasional yang benar-benar merefleksi kehidupan bangsa maka sangat penting dunia pendidikan berlandaskan filosopis, sosilogis, yuridis dengan penajaman landasan tersebut secara kritis dan fungsional.

1. Landasan Filosopis
Filsafat pendidikan nasional Indonesia berakar pada nilai-nilai budaya yang terkandung pada Pancasila. Nilai Pancasila tersebut harus ditanamkan pada peserta didik melalui penyelenggaraan pendidikan nasional dalam semua level dan tingkat dan jenis pendidikan. Nilai-nilai tersebut bukan hanya mewarnai muatan pelajaran dalam kurikulum tetapi juga dalam corak pelaksanaan. Rancangan penanaman nilai budaya bangsa tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga bukan hanya dicapai penguasaan kognitif tetapi lebih penting pencapaian afektif. Lebih jauh lagi pencapaian nilai budaya sebagai landasan filosopis bertujuan untuk mengembangkan bakat, minat kecerdasan dalam pemberdayaan yang seoptimal mungkin.

Dua hal yang dipertimbangkan dalam menentukan landasan filosopis dalam pendidikan nasional Indonesia. Pertama, adalah pandangan tentang manusia Indonesia. Filosopis pendidikan nasional memandang manusia Indonesia sebagai:
  1. Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan segala fitrahnya.
  2. Sebagai makhluk individu dengan segala hak dan kewajibannya.
  3. Sebagai makhluk sosial dengan segala tanggung jawab yang hidup di dalam masyarakat yang pluralistik baik dari segi lingkungan sosial budaya, lingkungan hidup dan segi kemajuan Negara kesatuan Republik Indonesia di tengah-tengah masyarakat global yang senantiasa berkembang dengan segala tantangannya.
Kedua pandangan filosopis pendidikan nasional dipandang sebagai pranata sosial yang selalu berinteraksi dengan kelembagaan sosial lain dalam masyarakat.

Karena kedua pandangan filosopis tersebut menjadikan pendidikan nasional harus ditanggung oleh semua fihak sehingga pendidikan dibangun oleh semua unsur bangsa sehingga berkontribusi terhadap unsur pranata sosial lainnya. Secara mendasar dapat ditegaskan bahwa landasan filosopis Pancasila menyimpulkan bahwa sistem pendidikan nasional menempatkan peserta didik sebagai makhuk yang khas dengan segala fitrahnya dan tugasnya menjadi agen pembangunan yang berharkat dan bermartabat. Oleh karena itu manusia Indonesia dipandang sebagai individu yang mampu menjadi manusia Indonesia yang berakhlak mulia. Karenanya pendidikan harus mampu mengembangkan menjadi manusia yang memegang norma-norma keagamaan dalam kehidupan sehari-hari sebagai makhluk Tuhan, Makhluk sosial, dan makhluk individu.

Landasan filosopis pendidikan nasional memberikan penegsan bahwa penyelenggaraan pendidikan nasional di Indonesia hendaknya mengimplementasikan ke arah:
  1. Sistem pendidikan nasional Indonesia yang bertumpu pada norma persatuan bangsa dari segi sosial, budaya, ekonomi dan memlihara keutuhan bangsa dan negara.
  2. Sistem pendidikan nasional Indonesia yang proses pendidikannya memberdayakan semua institusi pendidikan agar individu dapat menghargai perbedaan individu lain, suku, ras, agama, status sosial, ekonomi dan golongan sebagai manifestasi rasa cinta tanah air. Dalam hal ini pendidikan nasional dipandang sebagai bagian dari upaya nation character building bagi bangsa Indonesia.
  3. Sistem pendidikan nasional Indonesia yang bertumpu pada norma kerakyatan dan demokrasi. Pendidikan hendaknya memberdayakan pendidik dan lembaga pendidikan untuk terbentuknya peserta didik menjadi warga yang memahami dan menerapkan prinsip kerakyatan dan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Prinsip kerakyatan dan demokrasi harus tercermin dalam input-proses penyelenggaraan pendidikan Indonesia.
  4. Sistem pendidikan nasional Indonesia yang bertumpu pada norma keadilan sosial untuk seluruh warga negara Indonesia. Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan menjamin pada penghapusan bentuk diskriminatif dan menjamin terlaksananya pendidikan untuk semua warga negara tanpa kecuali.
  5. Sistem pendidikan nasional yang menjamin terwujudnya manusia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa, menjunjung tinggi hak asasi manusia, demokratis, cinta tanah air dan memiliki tanggungjawab sosial yang berkeadilan. Dengan demikian Pancasila menjadi dasar yang kokoh sekaligus ruh pendidikan nasional Indonesia.
2. Landasan Sosiologis
Lembaga pendidikan harus diberdayakan bersama dengan lembaga sosial lainnya. Dalam hal ini pendidikan disejajarkan dengan lembaga ekonomi, politik sebagai pranata kemasyarakatan, pembudayaan masyarakat belajar (society learning) harus dijadikan sarana rekonstruksi sosial. Apabila perencanaan pendidikan yang melibatkan masyarakat bisa tercapai maka patologi sosial setidaknya terkurangi. Hasrat masyarakat belajar saat ini masih rendah. Hal ini ditnandai rendahnya angka partisipasi masyarakat dalam sekolah terutama dalam membangung masyarakat belajar.

Sistem pendidikan nasional tidak mungkin selalu bertumpu pada Pemerintah sebab dengan adanya krisis Pemerintah semakin tidak mampu membiayai pendidikan, demikian pula apabila pendidikan hanya terarah pada tujuan pembelajaran murni pada aspek kognitif, afektif tanpa mengaitkan dengan kepentingan sosial, politik dan upaya pemecahan problem bangsa maka pendidikan tidak akan mampu dijadikan sebagai sarana rekonstruksi sosial. Dalam kaitannya dengan perluasan fungsi pendidikan lebih jauh, maka diperlukan pengembangan sistem pendidikan nasional yang didasarkan atas kesadaran kolektif bangsa dalam kerangka ikut memecahkan problem sosial.

Pendidikan nasional yang berlandaskan sosiologis dalam penyelenggaraannya harus memperhatikan aspek yang berhubungan dengan sosial baik problemnya maupun emografisnya. Masalah yang kini sedang dihadapi bangsa adalah masalah perbedaan sosial ekonomi sehingga pendidikan dirancang untuk mengurangi beban perbedaan tersebut. Aspek sosial lainnya seperti ketidaksamaan mengakses informasi yang konsekuensinya akan mempertajam kesenjangan sosial dapat dieleminir melalui pendidikan.

3. Landasan Kultural
Landasan Pendidikan yang ketiga adalah Landasan Kultural. Pendidikan selalu terkait dengan manusia, sedangkan setiap manusia selalu menjadi anggota masyarakat dan pendukung kebudayaan tertentu. Oleh karena itu dalam Undang-undang RI no. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 2 ditegaskan bahwa, pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasar Pancasila dan undang-undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap perubahan zaman. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, kebudayaan dapat diwariskan dengan jalan meneruskan kepada generasi penerus melalui pendidikan. Sebaliknya pelaksanaan pendidikan ikut ditentukan oleh kebuadayaan masyarakat dimana proses pendidikan berlangsung. 

4. Landasan Psikologis
Lanadasan Pendidikan yang keempat adalah landasan Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan manusia, sehingga psikologis merupakan salah satu landasan yang penting dalam pendidikan. Memahami peserta didik dari aspek psikologis merupakan salah satu faktor keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu hasil kajian dalam penemuan psikologis sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan, umpamanya pengetahuan tentang urutan perkembangan anak. Setiap individu memiliki bakat, minat, kemampuan, kekuatan, serta tempo dan irama perkembangan yang berbeda dengan yang lainnya. Sebagai implikasinya pendidikan tidak mungkin memperlakukan sama kepada peserta didik. Penyusunan kurikulum harus berhati-hati dalam menentukan jenjang pengalaman belajar yang akan dijadikan garis-garis besar program pengajaran serta tingkat keterincian bahan belajar yang digariskan.

5. Landasan Ilmiah dan Teknologi
Landasan Pendidikan yang kelima adalah Landasan Ilmiah dan Teknologi. Pendidikan serta ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai kaitan yang erat. Seperti diketahui IPTEK menjadi isi kajian di dalam pendidikan dengan kata lain pendidikan berperan sangat penting dalam pewarisan dan pengembangan iptek. Dari sisi lain setiap perkembangan iptek harus segera diimplementasikan oleh pendidikan yakni dengan segera memasukkan hasil pengembangan iptek ke dalam isi bahan ajar. Sebaliknya, pendidikan sangat dipengaruhi oleh cabang-cabang iptek (psikologi, sosiologi, antropologi). Seiring dengan kemajuan iptek pada umumnya ilmu pengetahuan juga berkembang sangat pesat.

6. Landasan Yuridis
Landasan Pendidikan yang terakhir adalah Landasan Yuridis. Sebagai penyelenggaraan pendidikan nasional yang utama, perlu pelaksanaannya berdasarkan undang-undang. Hal ini sangat penting karena hakikatnya pendidikan nasional adalah perwujudan dari kehendak UUD 1945 utamanya pasal 31 tentang Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31:
  1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
  2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar pemerintah wajib membiyayainya.
  3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketkwaan serta akhlak yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
  4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
  5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Pentingnya undang-undang sebagai tumpuan bangunan pendidikan nasional di samping untuk menunjukkan bahwa pendidikan sangat penting sebagai penjamin kelangsungan hidup bangsa Indonesia, juga dapat dipedomani bagi pennyelenggaran pendidikan secara utuh yang berlaku untuk seluruh tanah air.

Landasan yuridis bukan semata-mata landasan bagi penyelenggaraan pendidikan namun sekaligus dijadikan alat untuk mengatur sehingga penyelenggaraan pendidikan yang menyimpang, maka dengan landasan yuridis tersebut dikenakan sanksi. Dalam praktek penyelenggraan pendidikan tidak sedikit ditemukan penyimpangan. Memang penyimpangan tersebut tidak begitu langsung tetapi dalam jangka panjang bahkan dalam skala nasional dapat menimbulkan kerugian bukan hanya secara material tapi juga spiritual. Penyelenggaraan pendidikan yang sangat komersial dan instan dapat merusak pendidikan sebagai proses pembentukan watak dan kepribadian bangsa sehingga dalam jangka panjang menjadikan pendidikan bukan sebagai sarana rekonstruksi sosial tetapi dekonstruksi sosial. Itulah sebabnya di samping dasar regulasi sangat penting juga harus pula dilandasi dengan dasar yuridis untuk sanksi.

Daftar Pustaka
  1. Madyo Ekosusilo dan R.B. Kasihadi, Dasar-dasar Pendidikan, Semarang: Effhar Publising.
  2. Rubino Rubiyanto, dkk (2003). Landasan Pendidikan, Muhammadiyah University Press, 2003.
  3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Browse » Home » » Artikel Pendidikan :: Landasan Pendidikan Nasional

Rabu, 29 Agustus 2012

Perkembangan Substansi pada Kurikulum di Indonesia (Rangkuman dari beberapa penelitian dan pelatihan)


Oleh : Bambang Hariyanto
Latar belakang
Tahun 2007 ada suatu pertemuan di Istana Wakil Presiden yang dihadiri oleh Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional dan para eselon I Departemen Pendidikan Nasional. Dalam pertemuan ini Wakil Presiden menyatakan bahwa pendidikan saat ini mutunya lebih rendah bila dibandingkan dengan pendidikan era tahunn 60-an dan sebelumnya. Dalam hal ini ditanyakan kepada seluruh jajaran pejabat Departemen Pendidikan Nasional yang hadir.
Beberapa hari setelah pertemuan, Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (saat itu dijabat oleh Dr. Fasli Jalal Ph.D) meminta penjelasan kepada penulis, pada bidang apa mutu pendidikan sekarang lebih rendah dari mutu pendidikan era tahun 60-an. Dan sejak itu penelitian yang dilakukan penulis lebih diintensifkan.
Substansi penelitian
Bahan penelitian diambil antara lain:
  1. Buku-buku yang terbit pada era tahun 60-an. 70-an sampai tahun 2000-an
  2. Soal-soal ujian yang dilakukan pada era tahun tersebut
  3. Soal-soal ujian masuk perguruan tinggi tahun 60-an sampai sekarang
  4. Wawancara dengan para siswa, guru, produk dari kurikulum yang berlaku saat itu serta masyarakat umum
  5. Hasil tes yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional terhadap guru dan calon guru
  6. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kurikulum (Balitbang DEPDIKNAS)
  7. Kesimpulan dari hasil pelatihan yang dilakukan penulis
Penelitian dilakukan dibatasi dari pendidikan dasar sampai pendidikan menengah dan dibatasi pada bidang kemampuan penulis, yaitu terutama dalam bidang ilmu-ilmu eksakta. Sedangkan untuk bidang-bidang di luar bidang tersebut, penulis mencoba menterjemahkan dengan sebaik-baiknya.
Hasil penelitian merupakan rangkuman dari bahan-bahan di atas dan diusahakan bersifat seobyektif mungkin, mengingat jangka waktu penelitian yang singkat dan keterbatasan sarana/prasarana serta tenaga dan fasilitas yang dimiliki oleh penulis.
Kesimpulan yang diperoleh
1. Sarana/prasarana pendidikan
Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh dunia pendidikan di Indonesia saat ini jauh lebih baik daripada tahun 60-an. Pada tahun tersebut sarana pendidikan, terutama di tingkat dasar, masih seadanya. Perpustakaan hanya dimiliki oleh sekolah-sekolah tertentu
2. Substansi
Substansi (bahan ajar) pada umumnya menunjukan kemajuan yang pesat. Pada bidang eksakta terutama dikarenakan perkembangan ilmu pengetahuan. Bidang non eksakta juga tidak ketinggalan, terutama dengan adanya teknologi baru yang selalu ditemukan. Bidang-bidang yang mengalami kemunduran antara lain pada matematika, bidang-bidang yang merupakan pembinaan sikap mental dan kreativitas.
3. Kemampuan guru
Kemampuan rata-rata guru menunjukkan semakin tahun semakin mundur. Pada tahun 60-an seorang guru mampu mengajar lebih dari satu bidang studi dan pada tingkat yang berbeda-beda. Contoh: akhir tahun 60-an, guru penulis mengajar aljabar, ilmu ukur siswa kelas 1 sampai kelas 3. Suatu saat beliau dapat pula mengajar bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Tahun 1999 di Jakarta diadakan Lomba Kompetensi Guru se DKI Jakarta, dimana tiap sekolah diwajibkan mengirim satu orang wakil (guru yang terbaik sekolah pada bidangnya) untuk mengikuti lomba kompetensi. Bidang studi yang dilombakan: Matematika, Fisika, Biologi, Kimia dan Ekonomi khusus guru SMA) dan Matematika, Biologi, Fisika dan Geografi (khusus guru SMP). Hasil dari angket (diberikan saat mendaftar diri) menunjukkan peserta datang minimum menggunakan sepeda motor milik pribadi dan banyak yang menggunakan mobil pribadi, tidak serta pendidikan rata-rata S-1, sehingga bila ditinjau dari segi pendidikan dan ekonomi, para peserta mempunyai latar belakang pendidikan dan pendapatan yang cukup memadai. Dilihat dari hasil tes diperoleh, sangat menyedihkan.. Alasan yamg diajukan antara lain adalah: saya mengajar di kelas II, jadi saya lupa materi kelas I atau saya mengajar di kelas II dan tidak pernah mengajar kelas III, jadi saya tidak bisa. (hasil tes terlampir).
Yang lebih menyedihkan adalah pembuat soal (Pusat Pengujian ?) tidak mengetahui mana soal kelas 1, 2 atau 3. Bahkan tidak dapat membedakan mana soal untuk siswa SMP mana untuk siswa SMA (soal yang diujikan adalah soal-soal yang harus dikuasai murid). Pada soal untuk guru SMP terdapat soal SMA dan sebaliknya, pada tes untuk mengetahui penguasaan materi kelas II, terdapat soal kelas III dll. (photocopy soal masih disimpan penulis)
Tahun 1999, DEPDIKNAS memerlukan 4.000 guru Fisika, jumlah pelamar hanya 1.400 orang. Hasil tes teori mengenai metoda mengajar cukup memuaskan, tetapi hasil tes substansi sangat mengecewakan. Dari 40 soal tes yang diberikan, paling rendah benar 3 (tiga) buah sedangkan paling tinggi 12 (dua belas) buah. Atau dalam skala 0 – 10, nilai terendah 0,75 dan nilai tertinggi 3,0 (soal berupa pilihan ganda, tidak ada pengurangan nilai, dan soal yang diujikan adalah soal ujian nasional)
Pada era yang sama juga dilakukan uji petik kemampuan guru se Indonesia yang menghasilkan nilai rata-rata untuk Matematika sekitar 2,7, nilai Fisika lebih rendah lagi sedangkan yang tertinggi Biologi (4,..)
4. Hasil pendidikan
Hasil pendidikan, pada level yang sama, menujukkan penurunan kualitas, terutama kesiapan untuk terjun di masyarakat.
Analisa Perbandingan Kurikulum antara Kurikulum Indonesia, Korea, Jepang dan China
Perbandingan kurikulum yang di bahas adalah perbandingan pada tingkat SLTP yang merupakan hasil penelitian Pusat Kurikulum tahun 1999 sebagai persiapan untuk kurikulum 2004 (KBK) (terlampir)
Pada perbandingan tersebut terlihat:
  1. Jumlah jam belajar per tahun di Indonesia tertinggi (1428 jam tatap muka) dan terendah Jepang (1050 jam tatap muka)
  2. Jumlah mata pelajaran terbesar adalah China (16 mata pelajaran + 1 pertemuan sebelum/ sesudah jam belajar) dan terendah Indonesia (10 mata pelajaran, termasuk agama)
  3. Pelajaran agama hanya ada di Indonesia, pada 3 negara lain tidak diberikan
  4. Jumlah jam materi Matematika, tertinggi Indonesia (204 jam), terendah Jepang (105 jam)
  5. Jumlah jam materi Fisika, tertinggi Indonesia (204 jam), terendah Jepang (105 jam)
  6. Jumlah jam Olahraga, tertinggi Jepang (105 jam), terendah Indonesia (68 jam)
  7. Jumlah jam Keterampilan, tertinggi Jepang (4 × 70 jam).terendah Indonesia (68 jam)
  8. Jumlah jam Muatan Lokal, tertinggi Indonesia (204 jam), terendah Korea (34 – 68 jam)
  9. Pada keterampilan, di Indonesia hanya ada Kerajinan tangan dan kesenian, sedangkan pada negara lain selalu dimulai dengan Music, Fine Art dan ditambah dengan Home economic dan Technology and Industry (Korea), Industrial and home making (Jepang) dan Labor Skill (China)
Olahraga, yang selain diharapkan untuk menjaga stamina/kesehatan siswa juga sebagai sarana pembinaan mentalitas siswa (memenuhi aturan yang berlaku, sikap sportif, siap menang atau kalah dan lain-lain) di Indonesia kurang diberikan. Bahkan di kota besar, dengan alasan keterbatasan lahan, materi yang diberikan hanya dalam bentuk teori seperti panjang lapangan bola, tinggi net bulutangkis dll. Dampak dari hal tersebut dapat kita lihat pada prestasi olah raga negara kita, tawuran yang sering terjadi pada pertandingan bola dan pada PILKADA.
Music dan Fine Art selain untuk mengasah kreativitas, keterampilan, imajinasi dan ketelitian juga dapat untuk melatih menghargai keindahan dan perdamaian. Sedangkan Home making, Technologi and Industri dan Labour Skill sangat berguna dalam menghadapi kenyataan hidup di masyarakat. Keterampilan tidak bisa didapat secara seketika. Ia harus dilatih secara terus menerus. Saat ini di Indonesia cukup banyak tamatan S-1 yang tidak siap bekerja, karena tidak memiliki keterampilan yang diperlukan. Dilain pihak, kalau kita lihat industri elektronika, garment, rokok dll buruh yang bekerja disana adalah kaum wanita yang sudah sejak kecil dilatih mengurus rumah tangga.
Matematika, pada tahun 2000 dan sebelumnya, siswa mendapat 6 jam per minggu. Pada kurikulum 2004 (yang belum diresmikan oleh Menteri) menjadi 5 jam per minggu dan pada KTSP (2006) menjadi 4 jam per minggu membuat guru bingung. Materi yang sebelumnya (6 jam) saja tidak cukup sekarang dijadikan 4 jam. Untuk itu sekolah terpaksa menambah jumlah jam belajar siswa dalam bentuk /istilah pengayaan atau bimbingan belajar. Untuk itu perlu dikeluarkan biaya tambahan.
Selain itu, pada matematika banyak materi yang seharusnya ada, ternyata dihilangkan pada kurikulum dan yang seharusnya tidak ada justru dimasukkan ke dalam bidang studi tersebut. Contoh: bab tentang simetri (pada SMP), materi ini pada kurikulum 60-an dan 70-an masuk pada pelajaran menggambar. Disini siswa menggambar bentuk-bentuk simetri seperti huruf (kelas 1) dan bentuk-bentuk lain, misalnya batik (kelas 2 dan 3). Jadi bab simetri justru memang selayaknya dikembalikan lagi ke tempat semula karena selain meningkatkan kreativitas, ketelitian/keterampilan selain dapat dengan mudah dipahami karena dipraktekkan langsung.
Materi tentang logika matematika, pada tahun 60-an sudah diujicobakan oleh ITB dan beberapa negara di Eropa dan Amerika. Tahun 70-an dianggap kurang relevan diberikan pada tingkat sekolah menengah, kemudian dihilangkan. Tahun 80-an ternyata dimunculkan kembali sampai sekarang.
Pada tahun 60-an dikenal materi fungsi dan grafik yang isinya menggambarkan suatu grafik yang persamaannya sudah diketahui. Disini diberikan kata kuncinya seperti titik potong dengan sumbu X dan sumbu Y, nilai maksimum/minimum dan asimtot. Tahun 80-an muncul irisan kerucut sampai tahun 1999. Mulai tahun 1999 irisan kerucut, karena dianggap sulit, maka dihapus.
Dari buku-buku yang beredar, terlihat bahwa pada tahun 60-an materi yang disajikan hanyalah secara garis besar saja. Hanya cara menjawab/menyelesaikan soal, hanya sedikit rumus yang diberikan. Bagi yang ingin memperdalam silakan belajar di perguruan tinggi. Pada tahun 90-an sampai sekarang, materi yang diberikan sama dengan materi yang diberikan pada saat guru kita kuliah. Contoh: buku yang disusun Prof. Andi Hakim Nasution (alm), yang cenderung menciptakan seseorang menjadi matematikawan. Akibatnya buku tersebut hanya menjadi perhiasan di hampir setiap sekolah karena sulit dimengerti (isinya sama persis dengan buku yang digunakan mahasiswa IPB tingkat II). Disediakan di meja guru, tetapi baru dibuka jika ada pengawas. Bab irisan kerucut, karena ingin jelas, maka munculah definisi-definisi yang menimbulkan puluhan rumus dan sulit untuk dihafal maupun dimengerti. Akibatnya sekarang sudah hilang dari peredaran.
Persamaan berkas garis, parabola, lingkaran yang dahulu ada sekarang tidak ada. Dalil Stewart yang dahulu ada ditingkat SMP dan sangat berguna pada berbagai bidang turut hilang. Dan banyak lagi materi yang harus ada, tetapi dihilangkan dengan beberapa pertimbangan yang tidak masuk akal yang menyebabkan matematika sulit dipahami, karena kesinambungan materi tidak ada.
Selain itu ada pula materi yang langsung dilaksanakan tanpa diujicobakan terlebih dahulu, seperti graph, integral fungsi eksponen pada kurikulum 1994. Materi ini hanya diberikan pada 1 (satu) angkatan saja kemudian hilang. Berapa waktu, tenaga dan uang yang dibuang secara percuma untuk penataran, pembuatan buku paket dll.
Sinkronisasi antar mata pelajaran tidak jalan, contoh kelas 1 SMA semester 1 diperlukan trigonometri, untuk menyelesaikan Fisika, sedangkan materi tersebut baru diberikan pada semester II. Pada pelajaran Fisika SMA kelas II, diperlukan kemampuan integral, padahal materi integral diberikan pada kelas III SMA. Yang lebih menyedihkan adalah siswa kelas III SMA IPS yang tidak mendapat materi matematika harus menghadapi ujian matematika (kebijakan yang aneh dari Pusat Kurikulum). Akibatnya Dirjen DIKDASMEN saat itu menginstruksikan hanya gerak vertikal ke atas dan horizontal yang diberikan ke siswa, sedangkan gerak parabola dihilangkan, ujian matematika untuk jurusan IPS dan Bahasa ditiadakan. Dan ini tertuang pada Kurikulum Suplemen tahun 1999.
Hal lain yang membuat pendidikan di Indonesia sangat menurun adalah sifat tidak mau repot dari guru. Pemantauan di lapangan, seandainya siswa mendapat nilai 3 atau 4 dalam suatu ulangan maka banyak guru yang akan mencantumkan nilai 6 atau 7 pada rapot. Hal ini dikarenakan mereka enggan melakukan program remedial pada siswa. Selain itu jika mereka banyak memberi nilai rendah kepada siswa, dianggap mereka tidak mampu mengajar dan akan mendapat teguran dari kepala sekolah.
Semua hal yang disebutkan terakhir di atas, sudah mendarah-daging dalam pendidikan di Indonesia. Lihat kasus EBTANAS. Siswa dengan Nilai Ebtanas Murni (NEM) 1 atau 2 dapat diluluskan dengan nilai ijasah 6 atau 7 dengan menggunakan rumus tertentu.
Kebijakan berlakunya Ujian Nasional dengan syarat nilai terendah untuk lulus yang diterapkan dalam kurun waktu 5-6 tahun terakhir ini menimbulkan banyak protes dan demo di masyarakat, karena mereka sudah terbiasa dengan pengkatrolan nilai (mark-up nilai). Dan banyak waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat hanya untuk mendapatkan nilai seperti yang diinginkan, walaupun hal ini seharusnya tidak terjadi jika siswa sudah siap menghadapi ujian nasional.
Karena sudah terbiasa di sekolah (dari SD sampai perguruan tinggi) maka ketika di masyarakat, semua yang didapat langsung dipraktekkan. Tidak mau kerja keras (karena keterampilan dan kreativitas tidak dimiliki) tapi ingin kaya, maka paling mudah melakukan mark-up (seperti yang dicontohkan gurunya) atau korupsi. Karena tidak terbiasa dengan penyelesaian secara damai dan tidak ada yang mengajarinya maka cara anarkislah yang dipilih. Lihat gerakan mahasiswa tahun-tahun terakhir ini yang cenderung melakykan gerakan yang anarkis dalam menyampaikan aspirasinya. Gejala ini muncul sejak era reformasi dan terjadi di berbagai daerah.
Buku sekolah
Buku yang diterbitkan masa kini lebih indah kovernya, halaman dalam dibuat warna-warni yang cukup indah, ketebalan buku untuk siswa kelas 1 SD tebalnya sampai 200 halaman lebih dengan ukuran A4. Jauh berbeda dengan tahun 60-an yang menggunakan ukuran A5, cetakan hitam putih.
Warna-warni pada buku memang indah, akan tetapi karena indahnya, perhatian siswa, terutama siswa tingkat dasar akan terpecah antara menikmati gambar dan materi pelajaran (contoh lihat buku sekolah elektronik untuk kelas 1 SD) dan juga menyebabkan tebal buku meningkat drastis. Yang tadinya 1 halaman, sekarang menjadi 3 halaman. Ditinjau dari penerbit ini menguntungkan, tapi memberatkan bagi siswa karena buku bertambah berat dan dari sisi wali siswa, pengeluaran lebih besar.
Selain itu harus dibedakan antara buku teks dan modul. Pada modul, karena warga belajar tidak bertatap muka langsung dengan sumber belajar, maka naskah harus lengkap beserta contoh soal yang memadai. Sedangkan pada buku teks sekolah, harus ada pembagian tugas. Mana bagian yang harus dijelaskan di buku dan mana bagian yang dijelaskan oleh guru. Kalau seluruhnya ada pada buku, siswa segan untuk mencatat dan mendengarkan keterangan guru. Alasannya buat apa dicatat kalau di buku sudah ada. Selain itu kreativitas dan kemampuan guru tidak terasah.
Alangkah baiknya jika sebelum buku diedarkan, pihak penerbit dapat mempertemukan penyusun buku dan guru dalam suatu acara diskusi. Jangan sampai terjadi pada saat kurikulum 1994 baru dimulai. Saat itu banyak diterbitkan buku “keroyokan” dimana penulisnya diambil dari guru-guru yang sedang aktif mengajar. Siswa diwajibkan membeli buku tersebut, tetapi di sekolah anak saya, buku yang dibeli tersebut tidak dipakai oleh gurunya (penyusun) dengan alasan buku tersebut kurang bermutu bila dibandingkan dengan buku yang disusun pengarang lain, sehingga terpaksa membeli buku lagi.
Dipandang dari sisi penerbit, mungkin ada biaya tambahan, tetapi jika si bukunya bagus dan dapat dipertanggungjawabkan maka peminat buku tersebut akan banyak dan keuntungan penerbit akan meningkat. Dari segi guru, adanya informasi yang lengkap, langsung dari pembuat buku akan banyak membantu dalam mengajar. Batasan tugas guru dan penyusun akan jelas. Dari pihak konsumen (siswa) akan menyenangkan jika tidak seperti “membeli kucing dalam karung”.
Dari Buku Sekolah Elektronik yang dikeluarkan DEPDIKNAS, terlihat kekuatan pokoknya pada buku-buku ilmu sosial sedangkan kalau kita lihat program Pustekkom keunggulannya terletak pada ilmu eksakta. Dan untuk meningkatkan mutu pendidikan alangkah baiknya jika keduanya saling bekerja sama.
Kegiatan yang sedang dilakukan
Kegiatan yang sedang dilakukan penulis saat ini antara lain adalah mengusahakan peningkatan mutu guru matematika/fisika agar jam yang diberikan oleh KTSP kepada guru bisa mencukupi dan menghasilkan kualitas yang baik. Dampak lain adalah waktu belajar siswa tidak perlu terlalu panjang dengan mengikuti program pengayaan dan yang sejenis serta dapat dialihkan kepada kegiatan lain.
Untuk guru bidang studi, agar dapat memahami apa yang terjadi dengan perkembangan substansi yang diajarkan kepada siswa, penulis telah selesai membuat kumpulan soal-soal ujian tingkat SD, SLTP. SLTA dan ujian masuk perguruan tinggi dari tahun 1959 sampai tahun 2008. Untuk guru Bimbingan konseling, disediakan Direktori Beasiswa dan Direktori Sekolah agar para siswa dapat dengan mudah memilih sekolah sesuai dengan minat, bakat dan kemampuannya serta sumber dana untuk dapat bersekolah di sekolah tersebut (bagi yang tidak mampu).
Selain itu, penulis telah membuat suatu program buku sekolah elektronik agar guru/siswa dapat memilih dan membandingkan buku yang satu dengan buku yang lain, yang sesuai dengan yang diinginkan (saat ini sudah berisikan lebih dari 200 buku sekolah elektronik dari rencana 427 buku yang diterbitkan oleh DEPDIKNAS) dan pembelajaran memakai multimedia sebagai pelengkapnya. Keduanya hasil download dari website resmi Departemen Pendidikan Nasional (http://bse.depdiknas.go.id dan http://e-dukasi.net).
Jakarta, 25 Agustus 2008
Sumber : Millist CFB
http://enewsletterdisdik.wordpress.com/2008/09/03/perkembangan-substansi-pada-kurikulum-di-indonesia/