Pendidikan sebagai Panglima
SETELAH
Perang Dunia II berakhir,hampir semua negara melakukan konsolidasi politik dan
ekonomi.
Bagi
Indonesia yang masyarakatnya sedemikian majemuk dan penduduknya tersebar di
berbagai pulau,sungguh konsolidasi adalah tugas yang amat berat dan sangat
monumental dalam perjalanan bangsa ini. Bung Karno dan pendiri bangsa lainnya
pantas sekali mendapatkan penghargaan dari kita semua yang telah bersusah-payah
dan berhasil mengantarkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengingat urgensi agenda konsolidasi politik, maka muncul istilah ”politik
sebagai panglima” pada era Bung Karno yang juga populer dengan sebutan Orde
Lama.
Mari
merenung sejenak,mengamati rahasia yang menjadi sumber kebangkitan dan kekuatan
dari sebuah bangsa dan negara. Salah satu kata kuncinya adalah pendidikan. Kita
mulai dari yang paling klasik, yaitu Yunani. Siapa pun yang belajar pemikiran
filsafat dan politik, mesti mulai dari warisan intelektual Plato dan
Aristoteles 2.500 tahun lalu. Seakan dua nama itu masih hidup dan dikenal
dunia, sementara kondisi bangsa dan masyarakat Yunani saat ini bagaimana,kita
tidak begitu akrab.
Di
sinilah bedanya. Mesir purba yang memiliki peradaban unggul seperti Yunani,
namun karena tidak terabadikan dalam bentuk tulisan dan diwariskan dalam sistem
pendidikan, maka yang tersisa hari ini adalah bangunan fisik berupa candi
piramida dan Spink. Yang paling spektakuler tentu saja kebangkitan yang muncul
dari pasir Arabia dengan kehadiran sosok Muhammad yang mengenalkan Alquran,
sumber ilmu pengetahuan dan peradaban, sehingga dalam kurun waktu yang amat
singkat wilayah padang pasir itu berubah menjadi pusat peradaban.
Neo-Nasionalisme
Kondisi
sekian banyak negara yang menyatakan merdeka setelah Perang Dunia II ternyata
berbeda-beda.Ada yang cepat, ada yang sedang, ada pula yang lambat melakukan
konsolidasi dan modernisasi.
Negara-negara
pascakolonial ini masih sulit menghilangkan luka akibat perang dan
penjajahan.Terlebih Indonesia yang masyarakatnya sangat majemuk dan penduduknya
tersebar di ribuan pulau.Sungguh merupakan tugas sejarah yang tidak ringan
membangun pemerintahan yang efektif dan penguatan nasionalisme. Sampai hari ini
kita mesti bersyukur tidak terjadi Balkanisasi di negeri ini. Menyusul setelah
konsolidasi politik adalah orde pembangunan ekonomi sebagai panglima di bawah
Presiden Soeharto. Ini merupakan pilihan dan keharusan sebagaimana juga yang
dilakukan bangsa dan negara lain di dunia.
Nasionalisme
yang didorong oleh semangat fight against (penjajah) pelan-pelan diganti oleh
semangat fight foryang berorientasi pada prestasi pembangunan ekonomi. Generasi
yang lahir pada 1970-an tentu tidak merasakan secara langsung bagaimana
bobroknya kondisi ekonomi yang ditinggalkan rezim Orde Lama yang sarat dengan
retorika politik antiimperialisme sehingga Bung Karno bisa disebut sebagai
nation and state te buil Berbeda dari Bung Karno, Pak Harto tampil membangun
ekonomi sehingga dia sering dijuluki sebagai market builder.
Namun
sangat disayangkan, gerak maju pembangunan bangsa ini harus mundur lagi karena
kesalahan manajemen politik dan muncullah era reformasi dalam suasana kemarahan
dan kekecewaan karena Orde Baru gagal mengelola sukses (the failure of success)
akibat korupsi kronis yang justru dipelihara dan disebarkan dari tubuh
birokrasi dan elite penguasa. Kini,kita masih harus berjuang keras mengulangi
agenda lama,yaitu konsolidasi politik dan membangun ekonomi, sementara beberapa
negara lain sudah lebih maju lagi memasuki tahapan pembangunan pendidikan dan
budaya.
Ibarat
mobil,kita terpaksa mundur untuk maju, namun mundurnya jangan terlalu jauh.
Hanya dengan pendidikan yang bagus,kompetitif, dan meratalah sebuah bangsa akan
bisa tampil dengan kepala tegak dalam persaingan dunia. Tidak sulit membuktikan
kebenaran teori ini.
Lihat
saja benua Australia yang dulu dipandang sebelah mata sebagai gurun pasir
tempat pelarian orang kulit putih kelas kambing, kini kemajuannya sangat
mengesankan berkat lembaga pendidikan yang bagus, sebuah pendidikan dalam arti
yang lebih luas,bukan sekadar memperoleh titel kesarjanaan, tetapi untuk
mendorong munculnya kebudayaan dan peradaban unggul yang dikembangkan oleh warganya.
Begitu pun China, India, Malaysia, dan Singapura yang sekarang ini tampil
sebagai pemain baru yang diperhitungkan dalam percaturan global.
Kesemuanya
itu bermula dari pembangunan politik, ekonomi, kemudian dilanjutkan dengan
memosisikan program pendidikan sebagai prioritas utama. Singapura yang semula
dikenal hanya sebagai kota belanja dan transit, kini sangat agresif membenahi
diri untuk menjadikan pendidikan sebagai identitas diri dan sumber devisa.
Meminjam ungkapan teman, Pemerintah Singapura mengisi otak dan hati rakyatnya
setelah diberi rasa aman dan perutnya dikenyangkan lebih dahulu.
Paruh
kedua pemerintahan Pak Harto sesungguhnya rasa aman dan perut kenyang sudah
diraih. Namun ada aspek lain yang dilupakan,yaitu mengelola hasil pembangunan
bidang pendidikan. Tuntutan kelas menengah dan lapisan terpelajar tentu tidak
cukup hanya terpenuhinya kebutuhan sandang dan pangan. Mereka mulai menuntut
ruang kebebasan untuk berpendapat dan berbeda.
Tuntutan
inilah yang kurang direspons segera oleh Pak Harto sehingga berujung menjadi
air bah yang menghantam dirinya.Jadi, sesungguhnya Pak Harto telah berhasil
memakmurkan dan memintarkan rakyatnya sendiri, namun lupa atau enggan membuka
keran demokrasi sehingga hasil jerih payahnya selama jadi presiden buyar
berantakan. Dia gagal mengelola sebuah keberhasilan. Mungkin kesalahannya tidak
fair dilemparkan kepada Pak Harto sendiri. Andil kroni-kroninya sangat besar
dalam proses pembusukan rezim Orde Baru.
Negara-negara
tetangga di Asia Tenggara mestinya memperoleh pelajaran yang amat berharga dari
perjalanan Indonesia. Kalau pemerintah dinilai korup,sementara keran
demokratisasi tidak dibuka, maka rakyat yang sudah kenyang dan pintar itu pasti
akan bergolak menghantam pemerintah sendiri. Jadi, agenda ke depan ini
Indonesia mesti membangun neonasionalisme, sebuah kecintaan dan kebanggaan
menjadi warga Indonesia karena prestasi pendidikan dan peradabannya.
Bunyi
undang undang yang menetapkan anggaran pendidikan sebesar 20% sudah tepat. Kita
sebagai orangtua sangat siap kerja keras dan hidup prihatin demi mengantarkan
anak-anak kita memperoleh pendidikan yang bagus demi masa depan mereka. Bisakah
semangat dan kesiapan prihatin demi anak ini ditransfer menjadi sikap
pemerintah dan bangsa secara kolektif? (*)
*)Penulis
: Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Sumber
: Koran Sindo
http://enewsletterdisdik.wordpress.com/2008/03/07/pendidikan-sebagai-panglima/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar