Rabu, 29 Agustus 2012

Perkembangan Substansi pada Kurikulum di Indonesia (Rangkuman dari beberapa penelitian dan pelatihan)


Oleh : Bambang Hariyanto
Latar belakang
Tahun 2007 ada suatu pertemuan di Istana Wakil Presiden yang dihadiri oleh Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional dan para eselon I Departemen Pendidikan Nasional. Dalam pertemuan ini Wakil Presiden menyatakan bahwa pendidikan saat ini mutunya lebih rendah bila dibandingkan dengan pendidikan era tahunn 60-an dan sebelumnya. Dalam hal ini ditanyakan kepada seluruh jajaran pejabat Departemen Pendidikan Nasional yang hadir.
Beberapa hari setelah pertemuan, Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (saat itu dijabat oleh Dr. Fasli Jalal Ph.D) meminta penjelasan kepada penulis, pada bidang apa mutu pendidikan sekarang lebih rendah dari mutu pendidikan era tahun 60-an. Dan sejak itu penelitian yang dilakukan penulis lebih diintensifkan.
Substansi penelitian
Bahan penelitian diambil antara lain:
  1. Buku-buku yang terbit pada era tahun 60-an. 70-an sampai tahun 2000-an
  2. Soal-soal ujian yang dilakukan pada era tahun tersebut
  3. Soal-soal ujian masuk perguruan tinggi tahun 60-an sampai sekarang
  4. Wawancara dengan para siswa, guru, produk dari kurikulum yang berlaku saat itu serta masyarakat umum
  5. Hasil tes yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional terhadap guru dan calon guru
  6. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kurikulum (Balitbang DEPDIKNAS)
  7. Kesimpulan dari hasil pelatihan yang dilakukan penulis
Penelitian dilakukan dibatasi dari pendidikan dasar sampai pendidikan menengah dan dibatasi pada bidang kemampuan penulis, yaitu terutama dalam bidang ilmu-ilmu eksakta. Sedangkan untuk bidang-bidang di luar bidang tersebut, penulis mencoba menterjemahkan dengan sebaik-baiknya.
Hasil penelitian merupakan rangkuman dari bahan-bahan di atas dan diusahakan bersifat seobyektif mungkin, mengingat jangka waktu penelitian yang singkat dan keterbatasan sarana/prasarana serta tenaga dan fasilitas yang dimiliki oleh penulis.
Kesimpulan yang diperoleh
1. Sarana/prasarana pendidikan
Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh dunia pendidikan di Indonesia saat ini jauh lebih baik daripada tahun 60-an. Pada tahun tersebut sarana pendidikan, terutama di tingkat dasar, masih seadanya. Perpustakaan hanya dimiliki oleh sekolah-sekolah tertentu
2. Substansi
Substansi (bahan ajar) pada umumnya menunjukan kemajuan yang pesat. Pada bidang eksakta terutama dikarenakan perkembangan ilmu pengetahuan. Bidang non eksakta juga tidak ketinggalan, terutama dengan adanya teknologi baru yang selalu ditemukan. Bidang-bidang yang mengalami kemunduran antara lain pada matematika, bidang-bidang yang merupakan pembinaan sikap mental dan kreativitas.
3. Kemampuan guru
Kemampuan rata-rata guru menunjukkan semakin tahun semakin mundur. Pada tahun 60-an seorang guru mampu mengajar lebih dari satu bidang studi dan pada tingkat yang berbeda-beda. Contoh: akhir tahun 60-an, guru penulis mengajar aljabar, ilmu ukur siswa kelas 1 sampai kelas 3. Suatu saat beliau dapat pula mengajar bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Tahun 1999 di Jakarta diadakan Lomba Kompetensi Guru se DKI Jakarta, dimana tiap sekolah diwajibkan mengirim satu orang wakil (guru yang terbaik sekolah pada bidangnya) untuk mengikuti lomba kompetensi. Bidang studi yang dilombakan: Matematika, Fisika, Biologi, Kimia dan Ekonomi khusus guru SMA) dan Matematika, Biologi, Fisika dan Geografi (khusus guru SMP). Hasil dari angket (diberikan saat mendaftar diri) menunjukkan peserta datang minimum menggunakan sepeda motor milik pribadi dan banyak yang menggunakan mobil pribadi, tidak serta pendidikan rata-rata S-1, sehingga bila ditinjau dari segi pendidikan dan ekonomi, para peserta mempunyai latar belakang pendidikan dan pendapatan yang cukup memadai. Dilihat dari hasil tes diperoleh, sangat menyedihkan.. Alasan yamg diajukan antara lain adalah: saya mengajar di kelas II, jadi saya lupa materi kelas I atau saya mengajar di kelas II dan tidak pernah mengajar kelas III, jadi saya tidak bisa. (hasil tes terlampir).
Yang lebih menyedihkan adalah pembuat soal (Pusat Pengujian ?) tidak mengetahui mana soal kelas 1, 2 atau 3. Bahkan tidak dapat membedakan mana soal untuk siswa SMP mana untuk siswa SMA (soal yang diujikan adalah soal-soal yang harus dikuasai murid). Pada soal untuk guru SMP terdapat soal SMA dan sebaliknya, pada tes untuk mengetahui penguasaan materi kelas II, terdapat soal kelas III dll. (photocopy soal masih disimpan penulis)
Tahun 1999, DEPDIKNAS memerlukan 4.000 guru Fisika, jumlah pelamar hanya 1.400 orang. Hasil tes teori mengenai metoda mengajar cukup memuaskan, tetapi hasil tes substansi sangat mengecewakan. Dari 40 soal tes yang diberikan, paling rendah benar 3 (tiga) buah sedangkan paling tinggi 12 (dua belas) buah. Atau dalam skala 0 – 10, nilai terendah 0,75 dan nilai tertinggi 3,0 (soal berupa pilihan ganda, tidak ada pengurangan nilai, dan soal yang diujikan adalah soal ujian nasional)
Pada era yang sama juga dilakukan uji petik kemampuan guru se Indonesia yang menghasilkan nilai rata-rata untuk Matematika sekitar 2,7, nilai Fisika lebih rendah lagi sedangkan yang tertinggi Biologi (4,..)
4. Hasil pendidikan
Hasil pendidikan, pada level yang sama, menujukkan penurunan kualitas, terutama kesiapan untuk terjun di masyarakat.
Analisa Perbandingan Kurikulum antara Kurikulum Indonesia, Korea, Jepang dan China
Perbandingan kurikulum yang di bahas adalah perbandingan pada tingkat SLTP yang merupakan hasil penelitian Pusat Kurikulum tahun 1999 sebagai persiapan untuk kurikulum 2004 (KBK) (terlampir)
Pada perbandingan tersebut terlihat:
  1. Jumlah jam belajar per tahun di Indonesia tertinggi (1428 jam tatap muka) dan terendah Jepang (1050 jam tatap muka)
  2. Jumlah mata pelajaran terbesar adalah China (16 mata pelajaran + 1 pertemuan sebelum/ sesudah jam belajar) dan terendah Indonesia (10 mata pelajaran, termasuk agama)
  3. Pelajaran agama hanya ada di Indonesia, pada 3 negara lain tidak diberikan
  4. Jumlah jam materi Matematika, tertinggi Indonesia (204 jam), terendah Jepang (105 jam)
  5. Jumlah jam materi Fisika, tertinggi Indonesia (204 jam), terendah Jepang (105 jam)
  6. Jumlah jam Olahraga, tertinggi Jepang (105 jam), terendah Indonesia (68 jam)
  7. Jumlah jam Keterampilan, tertinggi Jepang (4 × 70 jam).terendah Indonesia (68 jam)
  8. Jumlah jam Muatan Lokal, tertinggi Indonesia (204 jam), terendah Korea (34 – 68 jam)
  9. Pada keterampilan, di Indonesia hanya ada Kerajinan tangan dan kesenian, sedangkan pada negara lain selalu dimulai dengan Music, Fine Art dan ditambah dengan Home economic dan Technology and Industry (Korea), Industrial and home making (Jepang) dan Labor Skill (China)
Olahraga, yang selain diharapkan untuk menjaga stamina/kesehatan siswa juga sebagai sarana pembinaan mentalitas siswa (memenuhi aturan yang berlaku, sikap sportif, siap menang atau kalah dan lain-lain) di Indonesia kurang diberikan. Bahkan di kota besar, dengan alasan keterbatasan lahan, materi yang diberikan hanya dalam bentuk teori seperti panjang lapangan bola, tinggi net bulutangkis dll. Dampak dari hal tersebut dapat kita lihat pada prestasi olah raga negara kita, tawuran yang sering terjadi pada pertandingan bola dan pada PILKADA.
Music dan Fine Art selain untuk mengasah kreativitas, keterampilan, imajinasi dan ketelitian juga dapat untuk melatih menghargai keindahan dan perdamaian. Sedangkan Home making, Technologi and Industri dan Labour Skill sangat berguna dalam menghadapi kenyataan hidup di masyarakat. Keterampilan tidak bisa didapat secara seketika. Ia harus dilatih secara terus menerus. Saat ini di Indonesia cukup banyak tamatan S-1 yang tidak siap bekerja, karena tidak memiliki keterampilan yang diperlukan. Dilain pihak, kalau kita lihat industri elektronika, garment, rokok dll buruh yang bekerja disana adalah kaum wanita yang sudah sejak kecil dilatih mengurus rumah tangga.
Matematika, pada tahun 2000 dan sebelumnya, siswa mendapat 6 jam per minggu. Pada kurikulum 2004 (yang belum diresmikan oleh Menteri) menjadi 5 jam per minggu dan pada KTSP (2006) menjadi 4 jam per minggu membuat guru bingung. Materi yang sebelumnya (6 jam) saja tidak cukup sekarang dijadikan 4 jam. Untuk itu sekolah terpaksa menambah jumlah jam belajar siswa dalam bentuk /istilah pengayaan atau bimbingan belajar. Untuk itu perlu dikeluarkan biaya tambahan.
Selain itu, pada matematika banyak materi yang seharusnya ada, ternyata dihilangkan pada kurikulum dan yang seharusnya tidak ada justru dimasukkan ke dalam bidang studi tersebut. Contoh: bab tentang simetri (pada SMP), materi ini pada kurikulum 60-an dan 70-an masuk pada pelajaran menggambar. Disini siswa menggambar bentuk-bentuk simetri seperti huruf (kelas 1) dan bentuk-bentuk lain, misalnya batik (kelas 2 dan 3). Jadi bab simetri justru memang selayaknya dikembalikan lagi ke tempat semula karena selain meningkatkan kreativitas, ketelitian/keterampilan selain dapat dengan mudah dipahami karena dipraktekkan langsung.
Materi tentang logika matematika, pada tahun 60-an sudah diujicobakan oleh ITB dan beberapa negara di Eropa dan Amerika. Tahun 70-an dianggap kurang relevan diberikan pada tingkat sekolah menengah, kemudian dihilangkan. Tahun 80-an ternyata dimunculkan kembali sampai sekarang.
Pada tahun 60-an dikenal materi fungsi dan grafik yang isinya menggambarkan suatu grafik yang persamaannya sudah diketahui. Disini diberikan kata kuncinya seperti titik potong dengan sumbu X dan sumbu Y, nilai maksimum/minimum dan asimtot. Tahun 80-an muncul irisan kerucut sampai tahun 1999. Mulai tahun 1999 irisan kerucut, karena dianggap sulit, maka dihapus.
Dari buku-buku yang beredar, terlihat bahwa pada tahun 60-an materi yang disajikan hanyalah secara garis besar saja. Hanya cara menjawab/menyelesaikan soal, hanya sedikit rumus yang diberikan. Bagi yang ingin memperdalam silakan belajar di perguruan tinggi. Pada tahun 90-an sampai sekarang, materi yang diberikan sama dengan materi yang diberikan pada saat guru kita kuliah. Contoh: buku yang disusun Prof. Andi Hakim Nasution (alm), yang cenderung menciptakan seseorang menjadi matematikawan. Akibatnya buku tersebut hanya menjadi perhiasan di hampir setiap sekolah karena sulit dimengerti (isinya sama persis dengan buku yang digunakan mahasiswa IPB tingkat II). Disediakan di meja guru, tetapi baru dibuka jika ada pengawas. Bab irisan kerucut, karena ingin jelas, maka munculah definisi-definisi yang menimbulkan puluhan rumus dan sulit untuk dihafal maupun dimengerti. Akibatnya sekarang sudah hilang dari peredaran.
Persamaan berkas garis, parabola, lingkaran yang dahulu ada sekarang tidak ada. Dalil Stewart yang dahulu ada ditingkat SMP dan sangat berguna pada berbagai bidang turut hilang. Dan banyak lagi materi yang harus ada, tetapi dihilangkan dengan beberapa pertimbangan yang tidak masuk akal yang menyebabkan matematika sulit dipahami, karena kesinambungan materi tidak ada.
Selain itu ada pula materi yang langsung dilaksanakan tanpa diujicobakan terlebih dahulu, seperti graph, integral fungsi eksponen pada kurikulum 1994. Materi ini hanya diberikan pada 1 (satu) angkatan saja kemudian hilang. Berapa waktu, tenaga dan uang yang dibuang secara percuma untuk penataran, pembuatan buku paket dll.
Sinkronisasi antar mata pelajaran tidak jalan, contoh kelas 1 SMA semester 1 diperlukan trigonometri, untuk menyelesaikan Fisika, sedangkan materi tersebut baru diberikan pada semester II. Pada pelajaran Fisika SMA kelas II, diperlukan kemampuan integral, padahal materi integral diberikan pada kelas III SMA. Yang lebih menyedihkan adalah siswa kelas III SMA IPS yang tidak mendapat materi matematika harus menghadapi ujian matematika (kebijakan yang aneh dari Pusat Kurikulum). Akibatnya Dirjen DIKDASMEN saat itu menginstruksikan hanya gerak vertikal ke atas dan horizontal yang diberikan ke siswa, sedangkan gerak parabola dihilangkan, ujian matematika untuk jurusan IPS dan Bahasa ditiadakan. Dan ini tertuang pada Kurikulum Suplemen tahun 1999.
Hal lain yang membuat pendidikan di Indonesia sangat menurun adalah sifat tidak mau repot dari guru. Pemantauan di lapangan, seandainya siswa mendapat nilai 3 atau 4 dalam suatu ulangan maka banyak guru yang akan mencantumkan nilai 6 atau 7 pada rapot. Hal ini dikarenakan mereka enggan melakukan program remedial pada siswa. Selain itu jika mereka banyak memberi nilai rendah kepada siswa, dianggap mereka tidak mampu mengajar dan akan mendapat teguran dari kepala sekolah.
Semua hal yang disebutkan terakhir di atas, sudah mendarah-daging dalam pendidikan di Indonesia. Lihat kasus EBTANAS. Siswa dengan Nilai Ebtanas Murni (NEM) 1 atau 2 dapat diluluskan dengan nilai ijasah 6 atau 7 dengan menggunakan rumus tertentu.
Kebijakan berlakunya Ujian Nasional dengan syarat nilai terendah untuk lulus yang diterapkan dalam kurun waktu 5-6 tahun terakhir ini menimbulkan banyak protes dan demo di masyarakat, karena mereka sudah terbiasa dengan pengkatrolan nilai (mark-up nilai). Dan banyak waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat hanya untuk mendapatkan nilai seperti yang diinginkan, walaupun hal ini seharusnya tidak terjadi jika siswa sudah siap menghadapi ujian nasional.
Karena sudah terbiasa di sekolah (dari SD sampai perguruan tinggi) maka ketika di masyarakat, semua yang didapat langsung dipraktekkan. Tidak mau kerja keras (karena keterampilan dan kreativitas tidak dimiliki) tapi ingin kaya, maka paling mudah melakukan mark-up (seperti yang dicontohkan gurunya) atau korupsi. Karena tidak terbiasa dengan penyelesaian secara damai dan tidak ada yang mengajarinya maka cara anarkislah yang dipilih. Lihat gerakan mahasiswa tahun-tahun terakhir ini yang cenderung melakykan gerakan yang anarkis dalam menyampaikan aspirasinya. Gejala ini muncul sejak era reformasi dan terjadi di berbagai daerah.
Buku sekolah
Buku yang diterbitkan masa kini lebih indah kovernya, halaman dalam dibuat warna-warni yang cukup indah, ketebalan buku untuk siswa kelas 1 SD tebalnya sampai 200 halaman lebih dengan ukuran A4. Jauh berbeda dengan tahun 60-an yang menggunakan ukuran A5, cetakan hitam putih.
Warna-warni pada buku memang indah, akan tetapi karena indahnya, perhatian siswa, terutama siswa tingkat dasar akan terpecah antara menikmati gambar dan materi pelajaran (contoh lihat buku sekolah elektronik untuk kelas 1 SD) dan juga menyebabkan tebal buku meningkat drastis. Yang tadinya 1 halaman, sekarang menjadi 3 halaman. Ditinjau dari penerbit ini menguntungkan, tapi memberatkan bagi siswa karena buku bertambah berat dan dari sisi wali siswa, pengeluaran lebih besar.
Selain itu harus dibedakan antara buku teks dan modul. Pada modul, karena warga belajar tidak bertatap muka langsung dengan sumber belajar, maka naskah harus lengkap beserta contoh soal yang memadai. Sedangkan pada buku teks sekolah, harus ada pembagian tugas. Mana bagian yang harus dijelaskan di buku dan mana bagian yang dijelaskan oleh guru. Kalau seluruhnya ada pada buku, siswa segan untuk mencatat dan mendengarkan keterangan guru. Alasannya buat apa dicatat kalau di buku sudah ada. Selain itu kreativitas dan kemampuan guru tidak terasah.
Alangkah baiknya jika sebelum buku diedarkan, pihak penerbit dapat mempertemukan penyusun buku dan guru dalam suatu acara diskusi. Jangan sampai terjadi pada saat kurikulum 1994 baru dimulai. Saat itu banyak diterbitkan buku “keroyokan” dimana penulisnya diambil dari guru-guru yang sedang aktif mengajar. Siswa diwajibkan membeli buku tersebut, tetapi di sekolah anak saya, buku yang dibeli tersebut tidak dipakai oleh gurunya (penyusun) dengan alasan buku tersebut kurang bermutu bila dibandingkan dengan buku yang disusun pengarang lain, sehingga terpaksa membeli buku lagi.
Dipandang dari sisi penerbit, mungkin ada biaya tambahan, tetapi jika si bukunya bagus dan dapat dipertanggungjawabkan maka peminat buku tersebut akan banyak dan keuntungan penerbit akan meningkat. Dari segi guru, adanya informasi yang lengkap, langsung dari pembuat buku akan banyak membantu dalam mengajar. Batasan tugas guru dan penyusun akan jelas. Dari pihak konsumen (siswa) akan menyenangkan jika tidak seperti “membeli kucing dalam karung”.
Dari Buku Sekolah Elektronik yang dikeluarkan DEPDIKNAS, terlihat kekuatan pokoknya pada buku-buku ilmu sosial sedangkan kalau kita lihat program Pustekkom keunggulannya terletak pada ilmu eksakta. Dan untuk meningkatkan mutu pendidikan alangkah baiknya jika keduanya saling bekerja sama.
Kegiatan yang sedang dilakukan
Kegiatan yang sedang dilakukan penulis saat ini antara lain adalah mengusahakan peningkatan mutu guru matematika/fisika agar jam yang diberikan oleh KTSP kepada guru bisa mencukupi dan menghasilkan kualitas yang baik. Dampak lain adalah waktu belajar siswa tidak perlu terlalu panjang dengan mengikuti program pengayaan dan yang sejenis serta dapat dialihkan kepada kegiatan lain.
Untuk guru bidang studi, agar dapat memahami apa yang terjadi dengan perkembangan substansi yang diajarkan kepada siswa, penulis telah selesai membuat kumpulan soal-soal ujian tingkat SD, SLTP. SLTA dan ujian masuk perguruan tinggi dari tahun 1959 sampai tahun 2008. Untuk guru Bimbingan konseling, disediakan Direktori Beasiswa dan Direktori Sekolah agar para siswa dapat dengan mudah memilih sekolah sesuai dengan minat, bakat dan kemampuannya serta sumber dana untuk dapat bersekolah di sekolah tersebut (bagi yang tidak mampu).
Selain itu, penulis telah membuat suatu program buku sekolah elektronik agar guru/siswa dapat memilih dan membandingkan buku yang satu dengan buku yang lain, yang sesuai dengan yang diinginkan (saat ini sudah berisikan lebih dari 200 buku sekolah elektronik dari rencana 427 buku yang diterbitkan oleh DEPDIKNAS) dan pembelajaran memakai multimedia sebagai pelengkapnya. Keduanya hasil download dari website resmi Departemen Pendidikan Nasional (http://bse.depdiknas.go.id dan http://e-dukasi.net).
Jakarta, 25 Agustus 2008
Sumber : Millist CFB
http://enewsletterdisdik.wordpress.com/2008/09/03/perkembangan-substansi-pada-kurikulum-di-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar